Senin, 30 Desember 2013

PEMBUNUH PENGINJIL YG MENJADI PENGINJIL


Amsterdam 2000, Kongres Penginjilan Sedunia yang diadakan pada 29 Juli-6 Agustus lalu, memberikan kesan mendalam bagi saya. Ketika memenuhi undangan Bapak Billy Graham untuk menghadiri acara ini, saya tdak menduga ternyata di antara lebih dari 10.000 peserta yang mewakili 209 negara tersebut, saya akan bertemu dengan seseorang yang pernah membuat kekristenan dan dunia misi penginjilan mengalami guncangan hebat yang menyakitkan. Siapa orang itu dan peristiwa apakah itu?

* * *
Setiap orang Kristen yang berumur di atas enam puluh tahun mungkin ingat akan perjalanan misi lima utusan Injil Amerika pada tahun 1956. Mereka adalah Peter, Ed, Roger, Nate dan Jim. Kisahnya sangat singkat. Lima pemuda yang bersemangat tersebut berencana pergi ke hutan rimba Ekuador Barat menuju orang-orang Indian Auca di sana.

Baru saja mereka menapakkan kaki setelah tiba di pantainya, sejumlah orang dari suku yang liar itu menyerbu mereka. Dengan beringas, orang-orang ganas itu menghujamkan tombaknya yang keras dan tajam, sehingga menancap di tubuh ke 5 pemuda lugu itu. Mereka meradang dan terjerembab jatuh dengan bersimbah darah merah. Tewas seketika. Itulah kenyataannya. Mereka baru saja mendarat dan belum sempat melakukan apa-apa.

Kejadian ini lebih terasa makin tragis karena berita ini dengan cepat tersebar luas oleh ulah seorang tukang foto dan penulis Majalah Life yang mengungkapkan kisah tersebut secara luar biasa. Peredaran Majalah Life ini sangat luas, sehingga tragedi itu tersebar luas pula ke seluruh dunia. Salah satu alasan mengapa kisah ini begitu menyentuh banyak hati orang yang membacanya adalah karena ke lima utusan Injil ini semuanya sudah berkeluarga, bahkan beberapa dari mereka sudah mempunyai anak.

Di antara pembaca berita di seluruh dunia tersebut ada seorang pemuda bernama James Hefley. Ia juga salah seorang di antara jutaan pembaca Kristen yang kaget dan bingung dengan peristiwa ini. Apakah ini kegagalan dalam misi kekristenan? Apakah 5 pemuda itu telah keliru?
Apakah Allah telah gagal dan dipermalukan? Diam-diam ia bertekad bahwa 25 tahun lagi sejak saat itu, ia akan menyelidiki apa yang terjadi kelak.

Dua puluh lima tahun setelah pembunuhan itu, James Hefley sendiri dan isterinya mengunjungi janda-janda para utusan Injil yang dibunuh oleh orang-orang Indian Auca.

* * *
Olive Fleming, istri Peter, mengatakan kepadanya, "Beberapa kali Peter menulis bahwa ia bersedia memberikan nyawanya demi orang-orang Auca. Cukuplah bagi saya untuk mengetahui bahwa Allah bisa memakai pengalaman ini demi kemuliaan-Nya di dunia." Setelah kematian Peter, Olive menikah dengan Walter Liefeld, seorang profesor di Trinity Evangelical Divinity School di Deerfield, Illinois, dan mereka mempunyai tiga orang anak. Allah memeliharanya.

Marilou McCully, istri Ed, berkata atas nama semua janda,"Kami ingin mengerti apa yang Allah lakukan melalui peristiwa itu.... Kematian kelima orang itu merupakan cara Allah …. Kami harus menyerahkan misteri ini kepada-Nya." Marilou tidak menikah lagi. Ia kini tinggal dekat Seattle dan bekerja di sebuah rumah sakit daerah. Mengenai hidupnya sendiri, ia berkata, "Tuhan selalu memelihara kepunyaan-Nya. Ia telah menyediakan semuanya bagiku ....." Ia mengucap syukur karena dua saudara laki-laki iparnya mengasuh ketiga anaknya, dengan demikian ada laki-laki tempat anak-anak itu bertukar pikiran. Allah memeliharanya

Barbara Yoderian, istri Roger dan ibu dari dua anak, selama ini tinggal di Ekuador. Ia mengurus perumahan tamu bagi The Gospel Missionary Union di Quito. Ia berkata, "Aku sungguh-sungguh tidak merasa menyesal tentang kejadian yang disebut orang operasi Auca. Allah ada di sana, sama seperti Dia ada bersama kami setelah mereka terbunuh, dan Ia menyelesaikan kehendak-Nya yang sempurna. Aku yakin kami akan mengerti hal itu sepenuhnya pada suatu hari nanti." Oleh karena pengalaman itu, Barbara mengatakan bahwa surga menjadi lebih nyata. Ia menanti-nantikan suatu pertemuan gembira kelak dengan semua keluarganya tersayang yang telah menghadap Tuhan. Allah memeliharanya .

Marge Saint, istri Nate, seorang pilot misi, ditinggalkan bersama tiga anak. Ia mengatakan, "Peristiwa Auca mengubah arah hidup saya .... Peristiwa itu membuat saya bisa melihat perbedaan antara yang penting dengan yang sepele, yang sebelumnya tidak pernah saya ketahui." Marge sekarang menikah dengan Abe Van Der Puy, bekas direktur World Radio Missionary Fellowship. Kini ia menjadi pembicara misi untuk siaran radio Back to The Bible. Allah memeliharanya .

Janda yang kelima, mungkin yang paling terkenal di antara kelima janda itu, Elisabeth Elliot, istri Jim. Ia menulis Through Gates of Splendor And Shadow of the Almighty, sebuah buku tentang pembunuhan tersebut.

Ia berkata, "Saya selalu percaya dan saya tetap percaya bahwa Allah mengetahui dengan tepat apa yang sedang Ia lakukan di Ekuador. Allah berkuasa sebagaimana dikatakan dalam kitab Roma 8:28 Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan. Seandainya Allah tidak pernah menyelamatkan seorang Auca, dan tidak pernah memanggil seorang pun ke ladang misi karena kematian orang-orang ini, saya tetap tidak meragukan bahwa kematian mereka adalah bagian dari pekerjaan-Nya untuk mendatangkan kebaikan. Itulah batu dasar kepercayaanku." Allah memeliharanya .

* * *
Mrs Elliot ternyata bertekad bulat menyelesaikan misi suaminya. Ia mengikuti jejak suaminya untuk menerobos Ekuador dengan kekuatan seadanya sebagai seorang janda wanita. Ia mau membuktikan bahwa kekuatan Kasih Kristus lebih dahsyat daripada kekuatan tombak yang paling ganas milik siapapun. Siapa yang bisa tidak menahan nafas menghayati tekadnya yang semacam ini? Betul-betul perjalanan misi dan pergulatan hidup yang mendebarkan jantung siapapun .

Karena pelayanan Mrs Elliot tersebut, kini para pembunuh, yaitu lima orang Indian Auca bengis pemakai tombak, semuanya kemudian menjadi Kristen dan memimpin gereja suku Indian Auca!

Pada hari saya bertemu dengan pria mantan pembunuh itu 6 Agustus 2000 - sungguh membuat saya terharu. (Ia duduk di dekatku dan kami berfoto bersama). Ia memperkenalkan namanya, Menna Minkai. Ia menyebutkannya sambil tersenyum ramah. Saya masih mengingat ucapannya melalui penerjemah) ketika dia diminta bicara di panggung sehari sebelumnya:

"Saya dulu dibesarkan dalam suasana kebencian dan kebiasaan membunuh. Saya tidak tahu bagaimana hidup yang lebih baik. Tapi kini saya telah dibasuh oleh darah Kristus. Hidup saya telah menjadi baru, demikian pula Anda sekalian yang di sini."

Aku sekali lagi kagum pada kuasa Injil yang mengubahkan hidupnya. Aku kagum pada kasih sayang Bapa yang telah menggerakkan isteri Jim, Mrs. Elliot - untuk menggarap pelayanan di Equador. Kini anaknya yang telah dewasa juga berada di sana bersamanya. Sekali lagi aku disentuh dan dihangatkan oleh kekaguman pada karya Allah dan Injil Kristus, pada kematian dan kebangkitan Kristus yang mengubahkan hidup manusia. Ini momentum baru dalam hidupku.

* * *
Penelitian dan wawancara James Heffley akhirnya menyimpulkan pula, bahwa peristiwa Equador tersebut ternyata telah menyebabkan ratusan pemuda dan pemudi di berbagai tempat di dunia tertantang untuk setia mengabdi pada Tuhan. Mereka mengubah arah hidup dan menyerahkan diri mereka bagi pelayanan di ladang misi. Siapakah yang menduga hal baik akan terjadi akibat tragedi di tahun 1956? Tuhan sungguh bijaksana, dan rencana Tuhan yang melampaui pikiran kita patut dipuji selamanya. (unknown)

* * *
CATATAN
Demikianlah Tuhan Yesus Hakim yg adil itu memerintah dunia. Lima jiwa orang milikNya telah dibunuh oleh orang Indian Auca atas perintah iblis, maka lima jiwa orang Indian Auca harus menjadi milik Tuhan Yesus dan ditugaskan untuk melayaniNya.

Tuhan Yesus adalah Hakim yg adil dan yang maha kuasa.

Senin, 02 Desember 2013

JALAN DARAH BARU TERBENTUK DI JANTUNG


PENOLONGKU YANG SUNGGUH

Awalnya, tidak ada sakit yang saya rasakan, hanya kebiasaan bersendawa. Dokter pun hanya memberikan resep obat maag biasa dan segera sembuh. Namun, sebulan berikutnya muncul lagi, begitu seterusnya. Diagnosis dokter mengatakan bahwa lambung saya terlalu banyak menghasilkan gas, dikatakan hal itu bukan suatu masalah dan tidak membahayakan.

Awal bulan April 2008, saya dan istri merencanakan untuk pergi jalan-jalan ke luar negeri, mengajak anak dan menantu. Sambil jalan-jalan, saya berencana pergi ke Penang, Malaysia untuk "check up" kesehatan karena saya dengar beberapa rekan mengatakan bahwa rumah sakit di sana memiliki peralatan yang lengkap, serta tenaga medis yang tidak kalah dibandingkan dengan Singapura.

Setelah hotel kami "booking" dan segala persiapan diselesaikan, kami berangkat menuju Penang, Malaysia dan tiba di sana sore hari. Baru keesokan harinya, kami pergi ke rumah sakit yang letaknya berseberangan jalan dengan hotel tempat kami menginap.

Kami menjalani "general check up" satu per satu dan tak sampai setengah hari, kami telah menerima hasil pemeriksaan. Dari seluruh rombongan semua dinyatakan sehat, hanya saya sendiri yang memperoleh catatan untuk menemui dokter spesialis jantung.

Saya bertanya-tanya dalam hati, ada apa gerangan dengan saya. Selama ini, saya merasa sangat sehat, tidak ada tanda-tanda nyeri atau sesak napas seperti yang biasa dialami oleh penderita jantung. Tak berapa lama, saya masuk ke ruang praktek. Di situ, dokter sedang mempelajari catatan kesehatan saya. "Pak Yanuar, Anda harus segera dikateter untuk melihat berapa persen penyumbatan yang terjadi." Lalu, saya diantar ke ruangan sterilisasi untuk berganti pakaian. Saya menggigil kedinginan bukan karena ruangan yang ber-AC, melainkan karena muncul rasa takut yang belum pernah saya alami sebelumnya. Menuju ruangan operasi, pikiran saya bertambah kacau. Namun, dalam keadaan seperti ini, saya malah melupakan Tuhan dan hanya mengandalkan kekuatan sendiri.

Pergelangan saya dimasukkan selang kecil untuk kemudian didorong menuju jantung, lalu keadaan jantung saya dapat terlihat dari layar monitor. Ketika diperlihatkan jantung sebelah kiri, dokter terkejut karena terdengar suara dari jantung itu. Selanjutnya, diperlihatkan sebelah kanan dan kembali terdengar suara yang sama. "Bagaimana Dok, kondisi jantung saya?" Sambil melepaskan selang kateter dari pergelangan tangan saya, dokter hanya menjawab singkat, "Bypass! Anda ketemu saya kembali nanti pukul 18.00."

Begitu mendengar vonis dokter agar menjalani operasi 'bypass', rasa takut saya kembali datang. Saya semakin takut saat ranjang saya mulai didorong oleh salah seorang asisten dokter yang menangani saya tadi. Sambil terus mendorong, dia menanyakan usia saya. "48 tahun," jawab saya. Wajahnya tampak terkejut begitu mendengar jawaban itu. Mungkin dia menduga saya sudah berusia lebih di atas itu. "Memangnya kenapa, Dok?" tanya saya ingin tahu. "Ah, tidak apa-apa, Pak." Mendengar jawaban seperti itu membuat saya bertambah takut.

Waktu menunjukkan pukul 18.00. Kami sekeluarga sudah berkumpul di ruangan dokter dan saya juga sudah dibawa ke ruangan tersebut. Terlihat wajah-wajah yang ingin tahu apa kira-kira hasil diagnosis dokter atas keadaan saya. Benar saja, anak saya yang pertama kalinya bertanya, "Bagaimana Pa hasilnya, apa kata dokter?" Melihat wajah mereka, saya jadi tidak tega mengatakan yang sebenarnya. Namun, dengan sepenuh hati saya katakan, "Papa harus 'bypass'." Bagai disambar petir, semua terkejut dan tidak percaya. "Tidak mungkin, gejala dan tanda-tanda sakit jantung saja Papa tidak ada. Mengapa sekarang malah mau di'bypass'?"

Begitu dokter datang dan membuka komputer, tampaklah di layar monitor jantung saya beserta pembuluh-pembuluh yang kecil dan rumit. Lalu, dokter mengatakan bahwa jantung saya ada yang buntu atau penyumbatan di delapan titik. Saya langsung bertanya, "Kalau ada buntu sebanyak itu, mengapa selama ini saya tidak merasakan sakit apa-apa dok?" Dokternya menjelaskan bahwa saya bisa sampai di tempat ini dengan kondisi yang baik tanpa ada gejala seperti orang sakit jantung umumnya, adalah karena (sambil jarinya menunjuk ke layar monitor) ada saluran baru telah terbentuk, yang menurut ilmu kedokteran saluran tersebut sebenarnya tidak pernah ada. Ini jelas pertolongan dari Tuhan, dan seluruh peredaran darah saya mengalir melalui saluran baru tersebut. "Makanya, Bapak tidak merasakan sakit seperti orang sakit jantung pada umumnya. Dan, menurut saya, Bapak harus cepat-cepat di'bypass', sebab kalau terlalu lama dibiarkan saya khawatir saluran tersebut akan pecah dan tidak ada lagi jalan keluar."

Pada saat itu, saya masih belum menyadari bahwa segala kejadian itu adalah pertolongan dari Tuhan Yesus, dan saya diberi waktu sampai besok untuk memberi jawaban. Keesokan harinya, kami kembali ke rumah sakit, dan seperti biasanya kami menunggu giliran. Hari itu lebih ramai dari biasanya sehingga kami menunggu lebih lama, hingga saya tertidur di kursi ruang tunggu. Tiba-tiba, terdengar suara di telinga saya, "Tengoklah ke sebelah kananmu." Saya terbangun dan menoleh ke sebelah kanan seperti apa yang saya dengar. Saya amati satu persatu, ternyata di seberang ruangan tunggu ada satu pigura besar yang bergambar Tuhan Yesus. Saya berdiri dan berjalan ke arah pigura itu, sedangkan rombongan saya hanya terdiam sambil melihat apa yang saya lakukan.

Sesampai di depan pigura itu, saya pandangi gambar Tuhan Yesus, saya pandangi wajah itu hingga tiba-tiba saya menangis sejadi-jadinya. Tidak peduli orang hilir mudik, saya tetap menangis sambil berkeluh kesah dengan Tuhan Yesus. Banyak kata yang saya curahkan hingga istri saya datang menghampiri sambil berkata, "Sudahlah Pa, ini semua rencana Tuhan dan di balik semua ini pasti ada rencana Tuhan yang indah."

Tangisan saya semakin menjadi, "Rencana indah yang bagaimana, sekarang saja saya sudah divonis jantung, 'kok' bisa-bisanya kamu omong bahwa ini adalah rencana indah?" seru saya. Namun, istri saya diam saja, dan rombongan kami hanya melihat dari kejauhan dengan wajah sedih, susah, dan sebagainya.

Tiba giliran saya untuk dipanggil. Setelah bergumul di dalam doa malam hari sebelumnya, akhirnya saya, istri, anak, dan menantu telah bersepakat dan menyetujui untuk saya melakukan operasi 'bypass'. Dokter pun memberi jadwal dan memberi obat untuk dua hari sebelum operasi dilaksanakan.

Keesokan harinya, menjelang operasi, saya mendapat sms dari rekan sepelayanan di FGBMFI yang isinya, "Sun, kamu habis marah sama Tuhan ya?" (nama mandarin saya Liem Gwan Soen). Saya tidak langsung mengiyakan, tetapi malah balik bertanya, "Apa maksudmu?" Ia kembali membalas, "Enggak tahu, Tuhan bilang sama saya bahwa kamu habis marah sama Tuhan, dan Tuhan memberikan ayat di Yesaya 37:28-29." Setelah membaca ayat tersebut, bulu roma saya berdiri dan langsung minta ampun pada Tuhan Yesus. Saya sadar bahwa Tuhan Yesus sudah banyak menolong saya selama ini, bagaimana Dia menyelamatkan anak saya yang ketiga dari kematian, bahkan kini selama operasi 'bypass' dilakukan, semuanya berjalan dengan lancar. Pada umumnya, operasi semacam itu bisa berlangsung kurang lebih 5 -- 6 jam, tetapi puji Tuhan, saya bisa menjalaninya hanya dalam waktu 4 jam dan hanya dalam waktu sembilan hari saya sudah boleh pulang ke Indonesia.

Sebenarnya, saya bukan seorang Kristen yang tulen, maksudnya sejak kecil sampai usia 33 tahun saya adalah seorang penyembah berhala. Ketika itu, istri saya sedang mengandung anak ketiga. Pada saat itu, sebenarnya Tuhan sudah berusaha memanggil saya untuk bertobat. Saya katakan demikian karena ketika sedang hamil muda hingga melahirkan, istri selalu menemui masalah dalam kandungannya. Salah satu contohnya, anak kami yang ketiga ini melalui diagnosis oleh dua orang dokter, scan USG maupun pengobatan tradisional dinyatakan laki-laki. Tetapi kenyataannya, begitu hari kelahirannya tiba ternyata anak kami lahir perempuan. Bagi saya, anak laki-laki atau perempuan tidak masalah yang penting sehat dan sempurna. Dalam kejadian tersebut, saya masih belum mengerti bahwa itu adalah keajaiban Tuhan.

Hari demi hari, kesehatan anak saya selalu saja bermasalah hingga usia dua tahun, dia sering kejang-kejang. Sudah bermacam-macam usaha saya lakukan, mulai ilmu kedokteran hingga pengobatan spiritual. Pada suatu hari, saya hendak berangkat kerja, tiba-tiba anak saya kejang-kejang, dan segera saja kami larikan dia ke dokter. Saat anak ketiga saya itu ada dalam gendongan saya, kejangnya berhenti dan sekujur tubuhnya membiru, tangannya jatuh lunglai seperti orang pingsan. Setelah saya amati dan saya periksa pernapasannya ternyata sudah tidak ada, dia meninggal. Begitu istri saya tahu bahwa anak kami sudah mati, dia menjerit histeris, saya bertambah bingung. Anak yang masih dalam gendongan itu, dalam kepanikan, segera saya bawa ke luar rumah dan masuk rumah lagi sampai tiga kali, dan tiga kali juga saya berseru, "Yesus, tolong saya!" Tiba-tiba, pada teriakan yang ketiga, anak saya yang tadinya sudah mati bisa bergerak lagi, dia hidup kembali!

Setelah kejadian itu, saya berpikir mengapa saya bisa memanggil nama Yesus? Entah dorongan dari mana saya bisa berseru seperti itu. Padahal, saya adalah orang yang paling tidak suka dengan orang Kristen. Saya hanya teringat satu hal, saya harus berterima kasih kepada Tuhan Yesus dan saya harus menjadi orang Kristen dan melayani Tuhan Yesus. Mukjizat Tuhan setiap hari saya rasakan, kami sekeluarga merasakan damai sejahtera dan sukacita dalam melayani Tuhan, baik itu pelayanan di gereja ataupun di dalam wadah FGBMFI. Hari ini, saya ingin berbagi berkat untuk Anda, jangan pernah main-main dengan Tuhan, sebab Dia tidak pernah main-main dengan kehidupan Anda dan Dia punya rencana yang indah bagi Anda.

(Diambil dari:/Judul buletin: SUARA (Full Gospel Business Men's VOICE Indonesia), Volume 96 - 2009/Penulis: Stefanus Yanuar/Penerbit: Yayasan Persekutuan Usahawan Injil Sepenuh Internasional (PUISI), Jakarta/Halaman: 9-14/i-kan-kisah)