Tahun 1984, industri perfilman Indonesia jatuh, membuat saya harus mencari cara lain untuk tetap mendapatkan penghasilan. Teman saya mengajak untuk berbisnis. Kami kemudian membuka sebuah perusahaan, dengan harapan nama Robby Sugara sebagai direkturnya bisa menjadi hoki dan menarik banyak transaksi bisnis. Tetapi harapan perusahaan itu akan menghasilkan keuntungan besar ternyata tidak terwujud. Waktu berjalan, perusahaan malah menyedot aset pribadi saya untuk membayar gaji karyawan dan biaya-biaya lain dalam menjalankan perusahaan setiap bulannya. Keadaan finansial saya semakin terjepit, menghidupi seorang istri dan 7 orang anak sungguh sulit karena saya tidak memiliki pendapatan, justru pengeluaran sangat besar untuk keluarga dan perusahaan. Di tengah krisis tersebut, rekan bisnis saya mengenalkan saya dengan seorang wanita, yang menurutnya memiliki koneksi dan relasi bisnis luas sampai ke pejabat tinggi dan keluarga Cendana pada waktu itu.
Rekan saya berharap dengan nama besar saya sebagai artis dan wajah ganteng bisa membuat wanita itu tertarik memberikan banyak bisnis besar pada kami. Harapannya terkabul, wanita itu langsung tertarik pada saya. Bahkan bukan hanya urusan bisnis saja, hubungan pribadi kami semakin hari menjadi semakin dekat dan keluarga semakin terabaikan. Nama besar, masalah perusahaan, dan menafkahi keluarga menjadi beban yang sangat berat bagi saya, yang saya rasa sudah tidak sanggup lagi untuk menanggungnya. Dan tanpa pikir panjang lagi, saya memutuskan untuk meninggalkan istri dan 7 orang anak saya yang masih kecil-kecil (yang paling bungsu berusia 9 bulan), untuk menanggalkan beban saya. Bagaimana nanti anak-anak saya makan, di mana mereka akan tinggal, dan bagaimana mereka akan bersekolah? Saya sudah tidak peduli lagi, hanya satu yang saya pikirkan saat itu, yaitu kebebasan dan kesenangan yang akan saya dapatkan.
Saya pergi jauh dari Jakarta saat itu, meninggalkan semuanya memulai hidup baru bersama wanita itu. Kami membuka usaha rumah penginapan di pinggir pantai, juga berbisnis batu mulia. Usaha itu berjalan sangat baik, sehingga dari hasilnya kami dapat jalan-jalan keluar negeri setiap tahunnya. Selama lebih dari 10 tahun saya tidak tahu-menahu mengenai keluarga saya, saya tidak tahu sama sekali mengenai anak-anak saya, apakah mereka masih hidup, apakah mereka masih makan, apakah mereka masih bersekolah, saya tidak tahu sama sekali. Dalam segala kelimpahan yang saya miliki, saya bahkan tidak pernah berpikir untuk berbagi dengan anak-anak saya dan membantu kehidupan mereka.
Dalam satu kesempatan, saya bertemu dengan mereka semua. Mereka sudah besar-besar sehingga saya hampir tidak lagi mengenali mereka. Hati saya seperti teriris-iris saat mengetahui mereka dengan susah payah berhasil bertahan sepeninggalan saya. Mereka semua masih bersekolah, bahkan ada yang sudah menyelesaikan sekolahnya dan mulai bekerja.
Apa yang telah saya lakukan, tidak ada satu pun andil saya dalam kehidupan mereka. Tapi yang membuat saya semakin tersentuh adalah tidak ada satu pun dari kata-kata kebencian dari mereka, kata-kata menyalahkan saya yang keluar dari mulut mereka. Mereka tidak pernah menyinggung mengapa saya begitu tega menelantarkan dan meninggalkan mereka. Waktu yang ada dimanfaatkan benar-benar oleh mereka untuk melepaskan kerinduannya, yang ada saat itu hanya sukacita luar biasa karena pertemuan itu. Hanya satu kata permintaan yang mereka ucapkan dalam pertemuan itu, "Papi, pulang ...." Sebuah kata sederhana, namun sangat sulit untuk saya kabulkan. Seseorang bisa dengan mudah terjerumus dalam perselingkuhan, hanya semenit ia sudah terikat dalam perselingkuhan, namun sangat sulit kalau bisa dibilang tidak mungkin untuk lepas dari jerat perselingkuhan.
Tapi setelah pertemuan itu, saat-saat kami bertemu terus mengganggu saya. Begitu indah dan tidak dapat terganti apa pun. Begitu berlimpahnya hidup saya, namun tidak dapat menggantikan momen-momen yang indah bersama dengan mereka. Kerinduan saya untuk dapat terus bersama dengan mereka semakin lama semakin besar, hingga membuat saya tidak berdaya, hanya mampu berdoa, "Tuhan, persatukan saya kembali dengan mereka." Dalam pertemuan berikutnya, dalam haru saya berkata pada mereka, "Papa janji akan pulang...." Sebuah janji yang saya tidak tahu bagaimana saya mewujudkannya. Ternyata janji itu menyalakan kembali harapan mereka yang hampir padam, anak-anak terus dengan gencar mendoakan kepulangan saya. Setiap tahun mereka membeli hadiah khusus untuk saya, pada hari ulang tahun putri saya yang sulung, karena mereka pikir saya akan memberi kejutan pulang pada hari ulang tahun mereka. Tapi apa yang terjadi, saya tidak pulang. Mereka tidak putus harapan, berdoa lagi, lalu membeli kado lagi khusus buat saya, siap menghadapi kejutan kepulangan saya. Hal itu terjadi setiap tahun, tahun demi tahun, mereka menanti, dan selalu saya kecewakan.
Januari 1998, peristiwa yang dinanti-nantikan mereka pun terjadi, saya dipulangkan oleh wanita itu, bahkan diantar sampai ke depan rumah saya pada tengah malam. Saya tidak pernah bertemu dengannya lagi sejak saat itu. Peristiwa pemulangan saya itu menunjukkan bukan kuat gagah saya melepaskan diri dari jerat itu, tapi itu semata-mata karya Tuhan yang ajaib. Bukan saya yang berusaha dan pulang sendiri meninggalkan semua kenikmatan duniawi itu, melainkan mukjizat Tuhan yang memulangkan saya. Peristiwa itu disambut sukacita luar biasa oleh anak-anak saya, penuh haru dan kerinduan. Walaupun istri saya tidak merespons kepulangan saya, saya memakluminya. Selama 14 tahun kami terpisah, dan setelah semua kejahatan yang saya lakukan padanya, ia butuh waktu untuk menerima saya lagi. Saya tahu bahwa Tuhanlah yang menguasai hati keluarga saya, untuk mau menerima orang yang telah sekian lama menyakiti hati mereka, tidaklah mungkin jikalau bukan karena campur tangan Tuhan. Mereka diberikan-Nya kebesaran hati dan kasih untuk dapat menerima saya lagi. Kalau bukan karena campur tangan Tuhan, itu tidak mungkin.
Setelah kembalinya saya ke rumah, semuanya tidak selesai begitu saja. Saya menghadapi sebuah pergumulan baru. Saya harus mengambil lagi beban yang saya tinggalkan, yaitu menghidupi keluarga saya. Saya tidak punya apa-apa sama sekali saat pulang pada mereka. Hanya membawa satu kantong plastik kecil berisi baju kotor. Saya memutar otak, bagaimana mendapatkan penghasilan. Kemudian saya mulai menghubungi teman-teman lama saya dalam dunia film, berharap nama besar Robby Sugara pada masa lalu masih bisa dijual saat ini. Saya menanti-nanti, tidak juga ada jawaban. Sampai akhirnya Tuhan tegur saya, agar saya tidak mengandalkan kekuatan saya, melainkan mengikuti jejak anak-anak saya yang hanya mengharapkan Tuhan untuk memulangkan saya. Saya menyadarinya, dan meminta ampun kalau saya masih mengandalkan nama besar. Dan menyerahkan sepenuhnya, segala sesuatunya ke dalam tangan Tuhan.
Tidak lama kemudian, jawaban Tuhan datang, saya mendapat peran dalam sebuah sinetron yang masih terkenal sampai saat ini, yaitu "Tersanjung". Setelah sinetron itu berkat Tuhan mengalir, hingga saya boleh diizinkan menyelesaikan puluhan judul sinetron. Saya sungguh rindu untuk melayani Tuhan, namun pelayanan saya sering kali terhambat dengan jadwal syuting yang sering berubah-ubah. Bila saya sudah dijadwalkan untuk bersaksi pada sebuah tempat, mendadak jadwal syuting juga berubah dan bentrok dengan jadwal melayani. Dengan sangat terpaksa saya harus mengikuti syuting karena sudah terikat kontrak. Hal ini membuat saya takut untuk menerima pelayanan kesaksian, takut saya mengecewakan jemaat yang mengundang, karena saya tidak bisa datang, bentrok dengan jadwal syuting yang berubah.
Saya berdoa pada Tuhan akan kerinduan besar saya untuk melayani Dia, dan keadaan pekerjaan saya saat itu. Pada sebuah sinetron yang saya perankan berjudul "Cintailah Aku", saya melihat judul dari sinetron itu memakai huruf besar untuk tulisan AKU. Saya percaya, ini adalah sebuah tanda dari Tuhan, agar saya melayani Dia sepenuhnya. Agar saya betul-betul mencintai hanya Dia seorang, meninggalkan segala sesuatunya, dan menyerahkan seluruh pemeliharaan hidup saya dalam tangan-Nya. Maka saya memutuskan untuk meninggalkan dunia keartisan, dan terjun sepenuhnya kepelayanan. Sungguh sebuah sukacita dapat melayani Tuhan Yesus yang telah memulihkan hidup dan keluarga saya. Orang bertanya, lalu dari mana saya memenuhi kebutuhan materi keluarga. Saya hanya tersenyum, Tuhan Yesus pasti mencukupi segala sesuatunya. Saya sudah melihat dan merasakan kebaikan-Nya, Ia selalu mencukupkan apa yang saya butuhkan, terpujilah nama-Nya.
[ Sumber: Majalah VOICE Indonesia, Edisi 88, Tahun 2007 / LM/Pet/Rz ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar