Rabu, 19 September 2018

KEMATIAN DI DALAM YESUS ITU INDAH


Shalom, saudara2ku...
Beberapa waktu lalu, saya pernah berjanji untuk menuliskan pengalaman saya bertemu muka dengan Tuhan Yesus, atau dulu sekali berjanji menceritakan pengalaman saya yang pernah meninggal dunia.

Saya pernah meninggal dunia, atau mati. Jadi jika ada orang yang berkata: mana ada orang yang pernah mati hidup lagi...saya adalah salah satunya. Dan pengalaman saya itu merupakan salah satu pengalaman terbesar yang pernah saya alami di dalam hidup ini dan mengokohkan iman saya akan kepastian keselamatan di dalam Yesus Kristus. Dan saya berharap anda diberkati setelah membaca kesaksian saya ini.

Peristiwa itu terjadi ketika saya duduk di kelas tiga SD, atau tahun 1985, saat umur saya sekitar 9 tahun.

Sebelum menceritakan peristiwa itu, saya harus ceritakan sedikit latar belakang kerohanian saya. 
Saya lahir di sebuah kampung pedalaman di Tapanuli Tengah. Saya bersyukur lahir dari keluarga kristen. Memang saat itu, kedua orang tua saya hanya kristen KTP. Akan tetapi sebagaimana lazimnya orang tua kristen, meskipun kristen KTP, mereka selalu peduli pada pendidikan agama anak-anak mereka. Jadi saya terdidik dalam sekolah minggu. Setiap hari minggu, saya selalu diberangkatkan ke gereja, berjalan kaki, kira-kira 3 km dari rumah. Hari minggu menjadi hari kesukaan saya, karena saya diizinkan ibu memakai baju bagus dan dibekali jajan lebih dari biasanya. Saya ingat lagu-lagu sekolah minggu kami dan guru-guru sekolah minggu kami, di gereja HKBP saat itu, sangat serius mengajar kami satu persatu untuk mengenal Tuhan Yesus dan bisa berdoa "Bapa Kami". Pengalaman paling berkesan saya saat sekolah minggu di situ adalah saat perayaan Natal Sekolah Minggu. Kami berangkat berpawai jalan kaki usai matahari terbenam menuju gereja. Dalam pawai sekitar 3 km, itu, kami menyanyikan lagu-lagu pujian pada Tuhan, dan masing-masing kami memegang obor.
Itu sangat mengesankan dan tak bisa saya lupakan. Hal-hal selebihnya dari masa kecil saya di desa itu adalah segala permainan anak kecil dari era 80-an awal, yang sangat berkesan.

MEWARISI IMAN DARI BUYUT SAYA

Selain itu, saya punya buyut (nenek dari ayah saya) yang dapat saya katakan adalah teladan rohani utama saya sampai hari ini. Beliau saat itu telah berusia lebih dari 100 tahun dan sudah tidak bisa berjalan, tinggal di rumah kakek saya (anaknya). Buyut saya ini diurus oleh saudari-saudari ayah saya yang juga tinggal di desa itu. Setiap pagi, siang dan malam, mereka selalu datang untuk mengurusnya. Ayah saya seorang yang sibuk, pergi pagi dan pulang sering kali sudah malam. Dia sopir angkot pertama di desa kami, dan angkotnya masih model jeep panjang. Ibu mengajar di SD Negeri di desa itu. Jadi ketika saya masih balita, ibu selalu menitipkan saya di rumah kakek saat dia pergi ke sekolah. Dan orang yang tinggal di rumah kakek hanya ada 3 orang, yaitu kakek yang menjaga warung di rumah itu dan mengurusi ternak babi, nenek yang mengurus sawah dan kebun, serta buyut saya tadi. Jadi saya tidak punya teman anak-anak di rumah itu. Sepanjang hari, sebelum ibu pulang menjemput saya, saya hanya bersama buyut saya itu, atau sesekali ke depan, ke warung, bersama kakek, dan sesekali juga ikut nenek ke sawah.

Setiap pagi sesudah diberi makan, dia akan duduk di tepi jendela di dekat tempat tidurnya. Habis makan siang, dia akan tidur. dan saat terbangun sekitar jam 3 sore, dia akan duduk lagi di situ. Begitu setiap hari. yang istimewa dari nenek buyut saya ini, sambil berkinang atau menumbuk sirih, dia akan berbincang-bincang dengan Yesus sepanjang hari di tepi jendela itu. Segala macam hal dia ungkit dan perbincangkan. Baik anak keturunannya yang ada di perantauan, orang-orang yang dia kenal, dan semua. Saya beruntung karena sayalah temannya setiap hari. Jadi dia selalu menyebut-nyebut saya dalam perbincangannya itu dengan Yesus dan sering meletakkan tangannya di atas kepala saya. Dalam perbincangannya itu, dia kadang kala menangis menitikkan air mata, dan malah lebih sering tertawa terkikik, seolah-olah Yesus sedang bercanda di hadapannya. Saya selalu duduk di bawah kursinya dan memandangi dia. Saya saat itu tidak mengerti apa yang dia lalukan itu (belakangan saya mengerti bahwa itulah yang disebut hidup bergau dengan TUHAN) Tapi saya tahu, bahwa dia berbicara kepada Yesus. Saya tahu Yesus itu Tuhan kami dari sekolah minggu, dan di rumah kakek, banyak gambar-gambar Tuhan Yesus ditempelkan di dinding.

Oya, buyut saya ini adalah didikan asli dari generasi kaum zending (orang-orang Jerman) yang di masa mudanya merupakan gembala-gembala dari seluruh gereja HKBP, termasuk di desa kami itu. Jadi dia mendapatkan didikan iman yang sangat dekat dengan level iman orang seperti Nommensen. Kita tahu pendeta-pendeta Jerman itu akhirnya :"terusir" dari HKBP pasca Proklamasi Kemerdekaan, imbas dari semangat nasionalisme yang sedang bangkit saat itu. Dan saya beruntung masih sempat mengenal produk asli dari generasi Nommensen, yaitu buyut saya. Menurut penuturan orang tua saya, dulu, ketika nenek buyut saya ini masih sehat dan bisa berjalan, dia selalu keliling kampung kami mengunjungi orang-orang yang ingin dia kunjungi, dan yang dia lakukan ialah menceritakan Yesus yang begitu baik dan telah rela mati di kayu salib untuk menebus kita. Jika demikian, jelas, dia seorang penginjil!

Pergaulannya dengan Tuhan, membuat orang-orang kampung mengira buyut saya ini seorang yang kurang waras. Ketika orang-orang datang untuk membeli ke warung, saat melongok ke dalam rumah, akan melihat nenek saya mengobrol sendiri dan sering terkikik-kikik seperti ada yang lucu. Saat orang kampung bertanya: "Oppung (nenek), siapa sih temanmu mengobrol itu?" Buyut saya selalu menjawab: "Eh, tak kalian lihat Tuhan Yesus di depan saya. Lihatlah Dia." Dan mereka tersenyum menggeleng2 dan mengira buyut saya sudah kurang waras. Dan saya setiap hari ada di dekat kakinya.

DOA TERBESAR PERTAMA

Saya ingat, doa terbesar saya ketika itu adalah suatu malam di rumah kami, di tepi desa, Hari sudah malam. Seperti biasa, ayah baru akan pulang jika kami sudah tidur. Jadi kami sudah terbiasa tidak mengharapkan kemunculan ayah pada malam hari. Kami ada bertiga di rumah, yaitu abang saya, saya dan adik perempuan kami. Jarak umur kami masing-masing 2 tahun. Saat itu saya masih belum sekolah. Mungkin sekitar 5 tahun.

Malam sudah begitu gelap, tapi ibu belum pulang dari rumah kakek. Saat itu belum ada listrik, jadi setiap malam, penerangan rumah kami hanyalah lampu minyak tanah yang ada tabung kacanya, disebut lampu semprong. Kami semua ketakutan malam itu, karena abang saya tidak bisa menyalakan lampu itu. Kami kegelapan dalam rumah. Adik perempuan saya yang baru berumur 3 tahun sudah menangis memanggil-manggil ibu. Abang saya juga ketakutan, tapi tidak punya solusi. Saya juga ketakutan. Tapi saya bilang sama abang saya: "Kita berdoa saja supaya Tuhan Yesus menyuruh ibu pulang..." Abang saya setuju. Lalu kami, tiga orang anak kecil, berdoa dengan sungguh-sungguh, sambil menangis, meminta Tuhan Yesus menyuruh ibu cepat pulang dari rumah kakek.

Ajaib, sekitar 5 menit sesudah itu, ibu kami muncul. Kami sangat kegirangan dan cepat-cepat menghambur memeluknya.

PINDAH

Tahun 1985, usai saya kelas 2 SD, persis pada masa liburan kenaikan kelas, kami pindah ke kota kecamatan. Itu adalah daerah muslim. Sebab ibu saya dipromosikan menjadi kepala sekolah sebuah SD Inpres. Kami tinggal di rumah dinas, persis di samping gedung sekolah. Saya sendiri tidak disekolahkan di SD Inpres itu, karena saya tidak mau. Saya disekolahkan di SD Negeri, kira-kira 200 meter dari rumah.

Keanggotaan gereja kami juga pindah, dari HKBP di desa kelahiran, ke gereja HKBP di kota kecamatan itu. Di situlah saya sekolah minggu. Dan saya sangat terkesan karena lagu-lagu sekolah minggunya lebih banyak.

Di rumah, kami punya gambar Yesus yang tersalib di dinding. Dan saya sering memandang lekat-lekat ke gambar itu dan mencoba membayangkan betapa mengerikannya penderitaan-Nya itu. Meski saya belum mengerti betul tentang kasih karunia di atas salib, tapi saat itu, saya punya rasa sayang kepada Yesus di hati saya.

PERISTIWA KEMATIAN ITU

Saat itu, saya pulang dari sekolah. Tanggalnya persisnya, saya sekarang sudah tidak ingat lagi. Tetapi sekitar bulan September 1985. Sebab saya ingat, saya baru beberapa bulan masuk sekolah kelas 3.

Saya menemukan rumah kosong, tak ada orang. Di halaman sekolah (yang juga halaman rumah kami), menyala sebuah tape-rekorder dengan suara keras , dengan musik SKJ (versi 1984). Yang membuat saya kesal waktu itu, tape-rekorder itu menyala dengan mengambil arus listrik dari rumah kami pakai kabel panjang, sedangkan tidak ada orang yang senam. Pikiran anak-anak saya memandang itu sangat merugikan keluarga kami.

Jadi dengan kesalnya, saya masuk ke rumah dengan satu tujuan, cepat-cepat mencabut cok listrik ke tape itu.

Saya tidak bisa menjangkau cok kabel (Steker) yang menempel di lubang stop kontak di dinding di atas pesawat TV. Tapi ternyata kabel itu punya persambungan, persis menggeletak di depan pintu kamar saya. Persambungan itu berupa cok steker dengan cok sambung tunggal (stop kontak). Cok sambung itu model kepala cok biasa akan tetapi tanpa garpu, melainkan lubang, dan ke lubang cok sambung itulah cok steker disambungkan.

Saya mencoba melepas steker dari cok sambung itu. Tetapi sangat keras. Saya tidak menyerah. Saya kerahkan seluruh tenaga tangan kecil saya. Akhirnya garpu cok steker itu keluar setengah. Tapi karena tape-rekorder masih terdengar oleh saya, berarti listriknya belum terputus. Saya tarik lagi dengan seluruh tenaga.

Apa yang terjadi? Jempol kanan saya terperosok ke sela garpu cok.....dan terjepit. Seketika itu juga, saya tersengat listrik. Saya menggelepar-gelepar dengan cok melekat di jempol saya. Tidak ada orang di rumah!

Saya tidak tahu apa yang terjadi di luar sana sesudah itu. Yang saya dengar kemudian, katanya abang saya mendengar suara pekikan saya. Dia datang dan melihat saya, lalu minta tolong keluar rumah. Seorang bapak yang mendengar teriakan minta tolong abang saya datang berlari, lalu mematikan sekring. Lalu orang ramai datang, termasuk ibu saya yang segera berlari-lari dari kantornya. Diceritakan kepada saya kemudian, saat itu, saya ditemukan sudah tak bernyawa, dengan buih-buih masih berkeluaran dari mulut saya dan aroma daging saya mulai tercium seperti daging terbakar. Sepertinya, saya terbakar listrik lebih dari belasan menit sebelum sekring itu dimatikan.

Itu tidak penting, karena itu terjadi atas tubuh saya ketika saya sudah tidak merasakan lagi karena sudah keluar dari sana. Yang menjadi inti pengalaman saya, adalah apa yang saya --ya saya yang hidup dalam tubuh ini-- alami.

Saat itu, ketika saya baru saja tersengat listrik, saya masih sempat berteriak menjerit dan menggelapar, dan dengan cepat, saya kehabisan tenaga. Saya tak bisa menggerakkan tubuh lagi. Dan detik-detik terakhir itu, yang saya rasakan hanyalah gelombang-gelombang sengatan yang luar biasa dari jempol kanan saya menghantam otak saya. Sampai akhirnya....saya tidak merasakan apa-apa lagi.

Detik dimana saya tidak merasakan apapun lagi, tiba-tiba seorang pria tinggi besar membangunkan saya. Dia mengajak saya berdiri.

"Mari, Nak," katanya lembut. Dia memegang tangan saya dan membawa saya melangkah.

Dia seorang pria. Rambutnya sebahu, dengan janggut menutupi lehernya. Parasnya seperti wajah Timur Tengah, kulitnya seperti warna logam. Ia memakai jubah putih terang bercahaya. Ia tinggi, lebih tinggi dari ayah saya (ayah saya termasuk pria tinggi untuk ukuran lokal, sekitar 177 cm). Yang saya heran saat itu, saya juga melihat bahwa saya memakai jubah putih seperti dirinya.

Saya saat itu tidak mengenal siapa pria itu. Tapi dia sangat lembut, sangat rendah hati, dan pancaran pribadinya terasa begitu damai dan sejuk di hati saya. Jadi saat itu saya memanggilnya "Oppung" (kakek), meskipun dia terlihat masih muda, hanya karena dia punya janggut lebat. Tapi saat itu, suatu keyakinan timbul di hati saya bahwa dia adalah Yesus, karena sosok tubuhnya mirip dengan yang digambar-gambar. Ah, orang itu sangat lembut. Benar. Begitu lembut. Anda tidak akan bertemu orang lain di sekitar anda yang lembutnya seperti pria ini.

Dia membawa saya melangkah. Langkah kami terasa sangat ringan. Dan ajaibnya, setiap satu langkah, seperti menjangkau beribu-ribu mil atau lebih jauh lagi. Dalam hitungan detik, kami ada di hamparan awan putih. Sepanjang mata memandang, adalah awan putih.

Saya bertanya kepadanya: "Kemana kita, Oppung?"
Dia menjawab: "Pulang ke rumah, Nak."

Lapat-lapat, dari kejauhan di depan saya, saya mendengarkan suara sorak sorai begitu riuuh, begitu gegap gempita. Sulit untuk melukiskan kemeriahan suara itu. Bayangkan suara berlaksa-laksa orang berseru-seru. Dan seruan mereka itu adalah: HALELUYAH..!! HALELUYAH...!!

"Siapa mereka, Oppung?" saya bertanya kepada dia yang memegang tangan saya.
"Mereka sedang menyambutmu pulang, Nak" jawabnya. Lembut sekali. Ya, setiap kata yang keluar dari lidahnya terasa begitu lembut dan lembut di hati saya. Saya merasakan getaran sukacita begitu hebat di hati saya. Sungguh terasa begitu indah. Rongga hati saya dipenuhi rasa indah yang tak bisa saya lukiskan. Semakin dekat ke suara itu, semakin rasa indah itu mengalir di tubuh (tubuh rohani) saya.

Saya sudah tidak sabar ingin cepat-cepat sampai ke tempat yang memancarkan getaran keindahan yang luar biasa itu. Ya, saudara. Sangat indah. Rasanya seperti ingin menari-nari, meloncat-loncat, seperti kijang yang gembira di taman, oleh getaran rasa indah itu. Dan sensasi indah itu terasa melekat permanen di dalam saya. (Jadi percayalah, atmosfir sorgawi itu mengalir dan terus mengalir di hati kita tanpa henti saat kita di sorga. Anda tidak akan bisa menangis ..yg bisa anda alami ialah memejam meresapi aliran indah itu di hati anda (di perasaan anda) atau meloncat-loncat bersorak sorai. Sorga itu tempat yang dipenuhi atmosfir damai sorgawi, dan rasanya seperti yang saya rasakan itu, meskipun saya baru merasakan pancarannya saja --karena belum sampai betul).

Tiba-tiba, dari belakang, saya mendengar jeritan ibu saya, memanggil-manggil saya untuk pulang. Saya jadi bingung. Pria berjubah terang ini mengatakan sedang membawa saya pulang ke rumah di depan sana. Tapi ibu saya ada di belakang?

"Oppung," saya bilang. "Kata Oppung, mengantar saya pulang ke rumah. Tapi ibu saya ada di belakang. Berarti rumah kami ada di belakang?"

"Tidak, Nak" jawab orang itu. "Rumahmu sekarang ada di sana" ia menunjuk ke depan. Saya senang dan ingin cepat sampai. Tapi ibu saya makin menjadi-jadi memanggil saya untuk pulang. Saya jadi risau. Saya jadi bingung hebat.

Karena saya tidak enak pada ibu saya, karena dia terus memanggil-manggil saya, akhirnya saya berhenti melangkah dan berkata:

"Oppung, sudahlah. Biarlah aku pulang ke ibu. Dia terus memanggilku. Nanti aku dimarahi ibu."

Pria itu menatap mata saya lurus dan begitu damai terasa dipandang seperti itu. Tatapannya lebih memberikan rasa damai daripada pandangan ayah kandung saya. Orang ini seperti ayah saya yang paling asli. Saya begitu sangat nyaman dalam naungan wibawanya. Akhirnya ia mengangguk setelah melihat tekat saya yang kuat. Ia menyetujui permintaan saya, dan melepaskan pegangannya di tangan saya. Detik dia melepaskan tangannya, detik itu juga saya membuka mata tubuh saya lagi. Di titik inilah saya benar-benar meyakini bahwa Pria bersama saya itu adalah YESUS sendiri. Sebab Dia memiliki otoritas penuh untuk memutuskan saya hidup lagi. Malaikat tidak punya otoritas itu. Hanya TUHAN sendiri. Dan sampai sekarang, saya merindukan wajah-Nya, memendam rindu untuk bertemu lagi dan merasakan kenyamanan dalam naungan wibawaNya. Dia benar2 Ayah saya yang sejati, lebih daripada ayah kandung saya. Di hadapan Dia, sampai hari ini saya merasa seperti seorang anak kecil yang dilindungi dan dikasihi. Saya sudah merasakan pancaran pribadi-Nya itu. Dan saya jamin, anda akan sangat bahagia bersama-Nya kelak. Dia Bapa kita.

Beberapa detik setelah saya hidup lagi, saya sempat mengalami kebingungan oleh perpindahan alam itu lagi. Tetapi kesadaran saya segera pulih. Saya menemukan diri saya sedang ada di pelukan ibu, dalam perjalanan naik sepeda motor dibawa seorang bapak-bapak, menuju Puskesmas, dan ibu terus menangis memanggil-manggil saya dan berkata-kata kepada Tuhan bahwa dia tidak rela saya mati. Saya tidak tahu kapan ibu mulai menyadari bahwa doanya telah dikabulkan, bahwa saya sudah hidup lagi.

Saya dirawat selama berminggu-minggu. Jempol saya saat itu menjadi lembek seperti adonan kue. Dokter menjepitnya dengan dua stik kecil lalu membalutnya dengan perban. Rupa-rupanya stik itu miring karena balutan perban. Jadi ketika perban itu dibuka dan tulang jempol saya sudah tidak lembek lagi, yang kami dapatkan ialah jempol saya bengkok. Sampai sekarang.

Tulisan ini saya ketik dengan juga memakai jari jempol kanan saya yang bengkok ini. Dan jempol bengkok ini, adalah prasasti pengingat bagi saya sampai seumur hidup saya, akan peristiwa luar biasa itu. Setiap kali saya mengamati jempol bengkok lucu ini, saya pasti teringat pada peristiwa itu dan wajah Yesus.

Saudara...
Anda mungkin bisa mengambil sendiri beberapa hal yang menguatkan iman anda dari kesaksian saya ini. Ada banyak hal.

Salah satunya, percayalah, sorak sorai di sorga itu adalah HALELUYAH, bukan allahu akbar atau yang lain.

Juga percayalah, ketika anda kembali ke rumah Bapa, anda benar-benar seorang anak yang pulang ke rumah Ayahnya, Sang Raja. Anda akan disambut oleh sorak sorai begitu banyak malaikat penyambut, seperti pasukan penyambut menyongsong pulangnya anak raja dari perantauan. Anda yang hari ini merasa tidak berharga di bumi, percayalah, anda itu anak Raja Besar. Jangan sedih lagi dengan keadaan sosial anda di sini.

Juga percayalah, kematian itu enak buat kita, orang yang percaya kepada Yesus. Begitu anda memejamkan mata jasmani anda, dan mata tubuh rohani anda terbuka, detik itu juga anda akan sadar bahwa rupa-rupanya TUHAN. atau paling tidak kawanan malaikat penjemput, sudah ada sejak tadi disitu untuk membawa anda pulang. Anda akan tersenyum sukacita menyadari itu. Jika anda orang Batak, mungkin anda akan berkata: "Bah, ai nadison do Ho sian nakkin hape, Tuhan Jesushu!" (Bah, rupanya Engkau dari tadi sudah ada disini, Tuhan Yesusku!)

Apa yang anda kuatirkan lagi. Tidak ada. Karena itu, jangan pernah menyia-nyiakan atau menolak kasih karunia Yesus yang telah diulurkan-Nya kepadamu. Dia, Yesus, hartamu yang paling mahal.

Tuhan Yesus mengasihimu. Dia datang segera. Dan anda dan saya akan melihat Dia dan akan merasakan kasih-Nya dan pancaran pribadi-Nya yang luar biasa itu.