Kamis, 09 Mei 2013

SETELAH OVERDOSIS 5 KALI


KESAKSIAN RANI RAHMI: "SETELAH OVER DOSIS 5 KALI, BAGAIMANA NASIB RANI SELANJUTNYA?"

Adik papa Rani, Rahmi, tidak mempunyai anak sehingga Rani diberikan kepada mereka. Karena hidup berkecukupan, apapun yang Rani mau diberikan. Namun, kesenangan itu tidak bertahan lama. Dia dikembalikan ke orangtua kandungnya. Hal ini membuat dia tidak bisa mendapatkan apapun yang dia mau. Dia menyimpan marah kepada orangtua angkatnya yang mengembalikan dirinya tersebut.

Rasa tidak puas itu menumpuk dan bertumbuh menjadi pemberontakan. Rani atau yang biasa disebut Ani, dia mulai nakal. Sejak SMP, dia mulai merokok bersama teman-teman prianya, bahkan dia juga mencoba obat-obatan keras yang murah. Sampai kelas 3 SMP, dari rokok dan obat-obat murah, Ani juga minum-minuman keras. Bahkan dia mulai mengenal ganja.

Setelah lulus SMP, Ani lebih nakal lagi. Setiap hari dia pasti mabuk. Dia tidak peduli akan kehidupannya, semua teguran dan nasihat tidak dipedulikan. “Saya sudah tidak peduli. Sejak saya dikembalikan kepada orangtua saya, saya marah. Sebenarnya yang saya cari sih perhatian. Perhatian dari orangtua yang saya anggap orangtua saya, supaya mereka ambil saya lagi.” cerita Ani waktu itu. “Mengapa orangtua kandung saya memberikan saya kepada om dan tante saya, tapi kemudian mereka berikan saya lagi kepada orangtua saya?” tambahnya.

Dia bertanya-tanya buat apa dia dilahirkan, apakah dia benar-benar dibuang. Ani pikir, buat apa dia ada di tengah-tengah keluarga yang seperti itu. Karena itu, dia mencari kesenangan sendiri dengan mabuk, obat, ataupun rokok untuk menutupi jiwanya yang hancur. Ani merasa dirinya sebagai anak yang tidak diinginkan orangtuanya. Karena itu juga, dia menghancurkan dirinya sendiri. Apalagi ketika temannya ada yang mengajak dirinya ke diskotek. Di sanalah dia mengenal ekstasi dan menyukainya. Ketika pacaran dengan seorang BD (Bandar, red), dia pun mencoba putaw. Dia tidak mengerti bahwa putaw mempunyai efek ketergantungan yang lebih parah lagi daripada semua obat-obatan yang dicobanya. Dan untuk mencukupi kebutuhannya akan narkoba, dia rela melakukan apa saja.

Setiap dua jam sekali dia harus memakai benda itu, sehingga mau tak mau dia pun melakukan segala cara. Mencuri, menjual barang-barang berharga, seks bebas demi mendapatkan uang ataupun barang itu langsung. Demi narkoba, dia rela mengorbankan harga dirinya, karena dia memang merasa dirinya sudah tidak berharga lagi. Hal ini membuat Ani sempat mengalami 5 kali overdosis. Biasanya hal ini dikarenakan obat-obatan yang dia pakai, tidak hanya 1 macam. “Karena saya memang mencari kematian. Karena saya ini anak perempuan, tapi kok saya dioper-oper? Saya pikir, lebih baik saya mati. Tapi kok tidak mati-mati padahal sudah 5x overdosis.”

Pihak keluarga mencoba menyembuhkannya, membawanya ke dokter. Dia memang memakai obat yang diberikan dokter, tapi dia pun masih memakai ‘obat’ yang satunya. Keadaannya bertambah parah, tanpa pengharapan, dia hanya mencari satu jalan yaitu kematian. Semakin dia putus asa, dia mencoba lompat dari apartemen. Jika dengan overdosis tidak bisa, mungkin dengan bunuh diri seperti itu, dia bisa mati. Melompatlah Ani, jatuh dengan posisi terduduk di lantai empat. Semua tulang-tulangnya patah. Saat itu pikirannya, sebentar lagi dia akan mati. “Asyik, saya mati.” Katanya dalam hati.

Ternyata pada saat itu, ada seorang suster yang melihat kejadian tersebut, sehingga Ani langsung dibawa satpam yang ada ke rumah sakit. Di rumah sakit, selama 6 bulan perawatan, dia masih menginginkan kematian datang di hidupnya. “Saya tidak bisa jalan. Semua obat yang dari dokter saya minum melebihi dosis yang dianjurkan, tapi tetap saja saya tidak mati-mati.” katanya. ‘Kok susah amat ya ga mati-mati?’ begitu pikirannya ketika itu.

Semua cara agar kematian itu datang yang ditempuh Ani, baik melalui narkoba dengan overdosis 5x, melompat dari gedung, maupun minum obat melebihi dosis, semuanya mendatangkan kesia-siaan. Ani mulai bertanya-tanya, mengapa bisa terjadi hal seperti itu. Kenapa aku masih hidup? Itulah pertanyaan yang membayanginya, padahal dia merasa tidak mempunyai alasan untuk hidup.

Kemudian, Ani lari ke rumah kakaknya. Setiap siang, biasanya rumah tersebut kosong. Pada awalnya, Ani tidak ada niatan untuk mencuri, namun ketika melihat pintu lemari pakaiannya terbuka, niat itu muncul. Dia ambil kotak perhiasannya. Dia pakai buat kumpul sama teman-temannya dan memakai narkoba sampai habis. Dia mulai bingung harus kemana, akhirnya dia tiba di sebuah rumah kosong.

Di sana dia melihat ada orang gila. Dalam hatinya dia berpikir, apakah dia akan berakhir seperti itu karena keputusasaannya untuk mati. Mungkin dia bisa gila. “Ah, aku ga mau gila, mendingan aku mati daripada gila. Maka di situlah saya menjerit. ‘Tuhan, kalau memang Engkau ada tolong sembuhkan saya. Saya sudah capek pakai narkoba. Saya sudah tidak punya apa-apa, saya sudah tidak diterima. Tolong Tuhan, saya sudah capek.’” Perkataan itu dia keluarkan pada saat dirinya sakaw.

Menjelang pagi, masih dalam keadaan sakaw, Ani pergi dari rumah kosong tersebut. “Saya jalan, cukup jauh perjalanan saya sampai akhirnya saya tidak tahan.” Pukul 3 sore, dia tiba di sebuah halte. Dia takut mau tidur dimana nanti malam. Ternyata di dekat halte tersebut, ada panti asuhan. Dia ke panti asuhan tersebut dan menceritakan semua kehidupannya kepada orang-orang yang mengurus panti asuhan itu, keadaan sakaw masih menguasai dirinya.

“Kamu ingin sembuh?” tanya pengurus itu. Ketika Ani mengiyakan, dibawalah dia ke sebuah tempat yang benar-benar tidak diduga olehnya. “Nah, di situ saya merasa aneh. Masa saya disuruh berdoa? Saya disuruh baca Alkitab, saya nggak ngerti. Saya bilang ini bukan jalan saya.” Ani mengatakan bahwa dia tidak butuh Alkitab, karena dia sakaw yang dia butuhkan adalah obat. “Kalian semua gila. Karena yang saya tahu dari dulu untuk menyembuhkan itu pake obat. Ini nggak.” Itulah kata-katanya ketika itu. “Mereka cuma nyanyi, baca Alkitab, doa, tumpang tangan, sudah.”

Pada hari kedua, sakaw nya pun menjadi-jadi. Dia pikir mungkin saat itulah dia akan mati. Dan untuk kedua kalinya, dia pun marah kepada orang-orang yang ada di sana ketika itu. Permintaan Ani untuk narkoba pun ditolak, tapi para pembimbing di sana terus mendoakannya. Akhirnya, merasa tidak tahan, akhirnya Ani ingin pulang saja. Sebelum pulang, sang pembina ingin mendoakan dia dulu. Ani pun berpikir tidak ada masalah. Sewaktu didoakan, dia teringat kembali doanya sendiri ketika itu. Dia ingat bahwa dia pernah minta Tuhan untuk menyembuhkannya. Apa ini yang mau Tuhan lakukan buat saya? Tanyanya dalam hati. Setelah itu, Ani tertidur sampai pagi.

Di hari ketiga, sakaw-nya bertambah parah. Dia semakin liar dan galak pada semua orang di sana, bahkan dia mengancam mentornya dengan memakai pisau dan meminta uang untuk membeli narkoba. Lalu datanglah seorang pendeta yang mendoakannya. Entah mengapa, setelah itu Ani merasa malas untuk pulang. Di hari ketiga itu, dia mengurungkan niatnya untuk pergi dan mengikuti ibadah pada malam harinya.

Di dalam ibadah itu, ada suatu lagu yang mengatakan, “Hanya nama Yesus…” Dia menangis sampai hancur hati. Lagu itu membuatnya sadar hanya nama Yesus, hanya nama Yesus. Berarti Tuhan ini yang menyembuhkan saya. Katanya dalam hati. Perasaannya pun menjadi dingin dan tenang, kayak tidak mempunyai masalah. “Besok saya juga mau,” katanya dalam hati kembali ingin merasakan perasaan itu. Sejak saat itu, Ani tidak lagi merasa sakaw dan rasa ingin memakai obat-obatan itupun sirna.

Semua kejadian yang dia alami, berkali-kali mujizat yang dia alami, banyak jalan yang dia lalui, dia menyadari bahwa dirinya sesungguhnya berharga dan bahwa Tuhan tidak ingin dia mati. “Semua kebaikan Tuhan itu saya rasakan, semua mujizat Tuhan itu saya rasakan. Yang dibilang Yesus itu kekasih jiwaku itu benar-benar saya alami, jadi saya benar-benar merasa bahwa Yesus itu segalanya buat saya.” tutupnya tentang cerita hidupnya. Percayalah, Yesus pun segalanya buat kita semua.

[ Sumber: Rani Rahmi ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar