Rabu, 24 Oktober 2012

GEORGE FOREMAN

SAYA tidak mau uangmu George, SAYA menginginkan engkau!


Waktu saya kecil, keluarga kami sangat miskin. Maka untuk makan saja, saya sengaja bertamu ke tetangga pada jam-jam makan, berharap mereka mengundang saya untuk makan bersama mereka.

Tumbuh dalam kemiskinan membuat kebencian dan amarah tumbuh subur dalam hati saya, sehingga semuanya itu saya salurkan dengan berlatih tinju secara keras. Tidak lama, hasil latihan itu membuat saya mendapatkan medali emas olimpiade kelas berat pada tahun 1968.

Pindah ke jalur profesional, kemarahan dan kebencian membuat saya bagaikan binatang buas menghancurkan siapa saja yang melawan, kebanyakan lawan saya 'KO' sebelum ronde ketiga. Rekor 32 kali menang tanpa pernah kalah, membuat saya dengan cepat meroket menjadi penantang bagi Joe Frazier. Saat itu Joe Frazier bagaikan "dewa tinju", tidak seorang pun saat itu terpikir bahwa dia bisa kalah.

Saya ingat, saat bel tanda ronde pertama dimulai, masih jelas terngiang di telinga saya bagaimana Joe dengan cepat datang dengan nafsu membunuhnya. Namun hal itu tidak membuat saya takut, saya membalas setiap pukulannya dengan sekuat tenaga, sehingga dia pun bertekuk lutut, 'KO'. Itu adalah peristiwa paling membahagiakan dalam karier bertinju saya.

Tahun 1974, di Zaire (Afrika), saya harus berhadapan dengan Muhammad Ali, pertarungan yang diberi nama "Rumble in the Jungle". Ali mengetahui kemarahan adalah kunci kelemahan saya. Ali pun memanfaatkan hal tersebut dengan terus membuat pernyataan yang merendahkan saya di berbagai media. Hal itu membuat saya gelisah dan murka, ingin segera rasanya menghajarnya di atas ring.

Kepercayaan diri saya saat itu terlalu besar karena saya baru saja menghajar 'KO' Ken Norton, orang yang menghajar Ali dengan 'KO' dalam 2 ronde. Bagaimana bisa Ali sesumbar seperti itu? Saya begitu marah dan telah meremehkannya. Pada pertandingan tersebut, saya terus memukulnya dengan sekuat tenaga dan ingin mengakhiri Ali secepat mungkin.

Namun Ali terus bertahan dan tidak bergeming, sehingga membuat saya kehabisan tenaga. Pada ronde kedelapan, saat saya memukulnya di bagian lambungnya, Ali menyadari pukulan saya sudah lemah. Dia bertanya, "Hanya itu yang kau miliki George?" Kemudian dia langsung membalas dengan cepat, dan yang saya ingat hanyalah suara wasit menghitung saya.

Tapi bukan pertarungan itu yang mengubah hidup saya. Pertarungan tinju paling penting dalam kehidupan saya adalah saat melawan Jimmy Young di Puerto Rico, 17 Maret 1977. Saat itu, saya sedang berusaha merebut gelar juara dunia kembali. Tapi pertarungan saat itu paling berat, berakhir 12 ronde dengan keputusan wasit saya kalah.

Saya dibawa masuk ke ruangan ganti dengan setengah pingsan, lambung saya terasa sakit karena pertarungan tadi. Saya duduk bersandar di locker dikelilingi pelatih dan para official sambil berteriak-teriak "Rematch! Rematch...!" (pertandingan ulang).

Saat keributan terus berlangsung di sekitar saya, pandangan dan pendengaran saya menjadi kabur perlahan, dan semuanya menjadi gelap gulita. Dalam kegelapan itu, saya mendengarkan sebuah suara berkata: "Kalau engkau percaya pada Tuhan, mengapa engkau begitu takut?"

Saya kaget mendengar suara itu. Kemudian dengan marah saya menjawabnya: "Siapa bilang saya takut? Siapa yang menyebut-nyebut Tuhan?"

Lalu saya mengatakan pada suara itu, bagaimana saya harus keluar dari kemiskinan ini. Hanya dengan usaha keras saya sendiri dan bagaimana saya harus berjaya dengan kekuatan saya.

Suara itu diam dan perlahan muncul ketakutan dalam hati saya, sebuah perasaan kematian. Saya merasa akan mati, ini adalah akhir dari semuanya.

Saya mencoba tawar-menawar dengan suara itu, "Saya adalah George Foreman, biarkanlah saya hidup, maka saya akan banyak menyumbang untuk amal."

Suara itu menjawab; "Saya tidak mau uangmu George, saya menginginkan engkau!"

Saya bertambah takut karena saya tidak pernah tahu, ada orang yang menganggap uang tidak berharga.

Kegelapan itu menarik saya semakin dalam, semakin gelap, dan semakin dalam lagi. Suara itu mengatakan, inilah rasanya maut itu, gelap ..., kosong ..., sendirian ..., dan itu akan berlangsung selamanya ....

Kemudian saya mendengar suara-suara berbisik, orang-orang yang berteriak-teriak. Semakin lama semakin jelas, perlahan pandangan saya melihat orang-orang di sekitar saya. Ternyata saya sudah kembali ke ruangan ganti. Banyak orang mengelilingi saya sambil bertanya dengan nada cemas, "Kamu baik-baik saja, Jagoan?"

Saya menjawab, "Apakah saya baik-baik saja? Saya adalah orang yang baru!" Saya merasa diri saya berubah, saya merasa diri saya orang lain, perasaan ini sungguh luar biasa, tidak dapat saya jelaskan dengan kata-kata. Saya merasa dibebaskan, dilepaskan, tubuh saya terasa sangat ringan. Saya dilepaskan dari kemarahan dan kebencian yang selama ini merasuki saya.

Saya mengerti sekarang apa hidup itu. Ini tidak ada hubungannya dengan tinju, tidak ada hubungannya dengan mengejar gelar juara. Ini semua mengenai Tuhan! Tentang cinta-Nya dan pengampunan-Nya. Saya langsung mencium semua orang di situ sambil berkata, "Saya mengasihimu, Tuhan mengasihimu!" Ada sebuah perasaan kasih yang besar keluar dari hati saya bagaikan gelombang, membuat saya tidak bisa diam untuk tidak mengatakannya.

Tiga puluh delapan tahun setelah hari itu, saya lebih terkenal sebagai koki daripada mantan juara dunia tinju. Saya memiliki acara masak sendiri di televisi, dan 55 juta peralatan panggang dengan merek nama saya laku terjual di seluruh dunia. Itu belum termasuk kaos, saus, krim cukur, pembersih rumah tangga, dan berbagai peralatan lain. Semua dengan merek nama saya. Orang berpikir saya kaya karena bertinju. Mereka salah, seluruh penghasilan saya dari bertinju seumur hidup jauh lebih kecil dengan nilai kontrak peralatan panggang yang saya buat.

Tuhan memberkati saya melimpah justru saat saya bertobat, undur dari dunia tinju, dan melayani-Nya sepenuh hati.

Sejak hari pertarungan dengan Jimmy Young itu, saya menggantung sarung tinju saya dan mulai rajin ke gereja. Awalnya, saya hanya duduk bersembunyi di pojok gereja, tidak ingin siapa pun tahu saya ada di situ. Namun saat mereka menyadari kehadiran saya, mereka menyuruh saya bersaksi di depan jemaat. Saya yang terbiasa bertinju ditonton oleh jutaan orang, kali ini berbicara di depan sedikit jemaat. Kaki saya gemetar.

Tidak lama setelah itu, saya melayani sepenuh waktu dengan menjadi pendeta, membangun gereja di lingkungan tempat saya dibesarkan. Saya kini memiliki pertarungan yang berbeda, yaitu melawan kemiskinan, rumah tangga yang hancur, kenakalan remaja, penyakit mematikan, tekanan mental, dan banyak problem lain. Setiap kali berhasil menang terhadap masalah itu, rasanya jauh luar biasa daripada menang 'KO'.

Pada tahun 1993, saudara saya mendirikan tempat latihan tinju dan dia mengundang saya untuk datang ke sana. Namun, saya selalu menolaknya karena saya tidak ingin jemaat melihat saya dekat dengan ring tinju.

Suatu kali, tidak sengaja saya harus singgah di gym itu. Di sana, saya melihat seorang ibu dan anak remajanya yang berusia sekitar 15 tahun. Mereka melihat dengan penuh harap dan ingin berbicara dengan saya. Saya tahu akan ke mana arah cerita mereka karena saya melihat diri saya sendiri dan ibu saya dalam diri mereka. Ibu itu pasti akan bercerita bagaimana miskinnya hidup mereka dan mengenai anaknya yang selalu terlibat dalam masalah. Ia pasti ingin agar saya melatih anaknya bertinju dan mengarahkannya.

Saya berusaha menghindar bercakap-cakap dengan mereka, dan saya pun pergi meninggalkan mereka dengan sebuah perasaan bersalah. Tidak lama setelah itu, saya menelepon Roy untuk menanyakan keadaan anak itu. Roy berkata bahwa anak itu sudah masuk penjara.

Saya merasa dihajar dengan pukulan yang sangat keras dan membuat 'KO' ketika mendengar berita tersebut. Ya Tuhan ..., trauma saya pada ring telah membuat satu jiwa tersesat. Sejak melayani Tuhan, saya mau pergi ke mana saja Tuhan utus, ke penjara, rumah sakit, pedalaman, sampai ujung dunia pun saya mau pergi, kecuali satu tempat ring tinju. Pada saat itu, saya mendengar Tuhan berkata, "Sekarang saatnya George, bawa Aku ke sana ...."

Dunia menjadi gempar ketika saya kembali ke ring tinju. Mereka menahan napas saat saya bertarung dengan anak-anak muda yang memiliki kecepatan dan kekuatan, yang jauh berbeda dari orang seumur saya. Bagi mereka, mustahil seorang tua berumur 40-an tahun mampu bertinju lagi.

Tapi saya membuktikan bahwa semua perhitungan dunia adalah salah. Pada usia hampir 50 tahun, saya kembali merebut gelar juara dunia dan dinobatkan sebagai petinju tertua yang pernah meraih gelar juara dunia. Saya menekuk Michael Moore dengan 'KO' pada ronde ke-10, padahal dia baru menaklukan Evander Holyfield. Dan saya menyatukan seluruh gelar juara badan dunia, yaitu WBA, WBC, dan IBF.

Selanjutnya, gelar juara itu tidak pernah direbut dari saya, tapi saya sendirilah yang menyerahkan sabuk itu, yaitu pada orang yang telah saya kalahkan (Axel Schultz). Saya lalu mengundurkan diri dari dunia tinju.

Mereka tidak habis pikir bagaimana orang setua saya bisa melakukannya, saat seharusnya tidak ada lagi kekuatan orang muda tersisa dalam diri saya ini.

Hanya satu jawabnya, hanya satu kekuatan yang membuat tubuh tua ini bangkit menjadi pemenang, yaitu kekuatan dari Tuhan. Bukan kuat dan gagah saya, melainkan karena Roh Tuhan ada dalam diri saya.

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul majalah: SUARA edisi 79 -- FGBMFI, 2005
Penulis: George Foreman
Penerbit: Communication Department - Full Gospel Business Men's Fellowship Internasional - Indonesia, Jakarta Halaman: 5 -- 9

4 komentar: